“Mbrakbaaaal…saya dikadalin. Sungguh terlaluhhh”.
“Lha, ono opo? Pagi-pagi sudah nyanyi tembang kesengsaraan”.
“Itu kyai … kelas banyak yang kosong”.
“Lha, ini kan jam belajar. Ndak mungkin kosong”.
“Lha itu buktinya. Siswa teriak-teriak ndak ada gurunya”.
“Ooo … ndak ada gurunya bukan berarti kelas itu kosong, toh?”
“Kyai ini piye? Gurunya ndak masuk ngajar. Makanya kelas kosong”
“Lha, siswanya ada di kelas ndak?”.
“Ada. Pada ribut ndak karu-karuan”.
“Ya, kalo masih ada siswa di kelas, namanya ndak kosong. Kalo kosong ndak ada gurunya, ndak ada siswanya”.
“Kalo gurunya ndak masuk, maka istilahnya kelas kosong kyai”.
“Halah, istilah kok, ndak menunjukkan pengertiannya”.
“Ya memang dari dulu begitu istilahnya, kyai”.
“Lha, gurunya memang pada kemana ndak masuk?”
“Ini yang saya ndak habis pikir. Masa, lebih mementingkan jenguk orang yang baru pulang umroh ketimbang ngajar. Lepas ngajar kan bisa. Kalo begini, kan anak-anak bangsa yang dikorbankan”.
“Ah sampeyan dipolmatis. Biasa aja lagee”
“Lha, kyai kok terkesan membela mereka. Sudah jelas mereka ndak disiplin”.
“Sampeyan sudah periksa silabus mereka belom?”
“Lha, apa hubungannya dengan silabus?”
“Sudah sampeyan periksa belom? Sampeyan kan kepala sekolah. Harus jeli”.
“Sudah. Sudah saya tanda tangani”.
“Lha dibaca ndak?”
“Ya tidak tuntas sih”.
“Lha itu keteledoran sampeyan. Sampeyan wajib tau, apa yang ditulis guru dalam silabusnya”.
“Ya tapi, apa hubungannya dengan ninggalin kelas mementingkan jenguk orang yang baru pulang umroh?”
“Lha, siapa tahu ada satu kompetensi dasar tentang sillaturrahim. Lalu guru sampeyan buat indikatornya begini, ‘Mampu menerapkan budaya kunjung mengunjungi kepada sesama muslim yang baru pulang umroh’. Sampeyan mau bilang apa? Silabus sudah sampeyan tanda tangani. Mau apa coba?”
“Kok, saya ndak kepikiran ya?”
“Nah makanya, sampeyan jangan uring-uringan dulu. Bisa jadi mereka yang benar, sampeyan yang ndak teliti”.
“Kalo saya marah, salah ndak kyai? Saya kan kepala sekolah”.
“Lha justeru karena sampeyan kepala sekolah, sampeyan itu harus lebih ngerti dari guru-guru sampeyan. Kalau kepala sekolah gampang marah, ndak baik. Kaya sampeyan ndak pernah jadi guru biasa saja”.
“Tapi kalo saya diam saja, malah nanti mereka semakin seenaknya”.
“Ya jangan diam saja”
“Lha terus, saya harus berbuat apa?”
“Bilang saja baik-baik, ‘terima kasih pak, terima kasih bu. Bagaimana kunjungan ke rumah orang yang baru umroh itu? Semoga banyak berekatnya. Saya do’akan, InsyaAllah, besok atau lusa, bapak atau ibu yang berangkat umroh. Biar bisa lebih lama ninggalin siswa-siswa di kelas’. Bilang begitu. Ndak usah pake marah. Nanti juga mereka mikir”.
“Yah, kyai. Kaya ndak kenal mereka saja. Pastinya mereka punya jawaban.’Ah, bapak. Sekali aja ninggalin kelas, apa ruginya sih’. Nah, kalo sudah begitu, saya mau gimana lagi?”
“Ya harus tambah percaya”.
“Tambah percaya apa?
“Lha ya guru kan, memang pandai ngeles. Ngeles Matematika, ngeles Fisika, ngeles bahasa Inggris, termasuk ngelesssss …..”.
“Halah! Mbrakbal kyai”.
Akhirnya cerita Kyai kocak saya update lagi setelah beberapa minggu vakum,credit for pak abdul muttaqin penulis Kyai Kocak.semoga terhibur dengan kekocakan kyai satu ini,Salam Yang PEnting share,Official of Kyai kocak Story.Dapatkan cerita lainnya di daftar cerita kyai kocak
0 komentar:
Posting Komentar