Seorang kyai, seorang rabbi Yahudi dan seorang pendeta Nasrani mengembara. Perbekalan mereka tinggal sepotong roti dan setegukan air mineral. Roti dan air itu hanya cukup untuk seorang saja.
”Sebaiknya roti dan air ini kita sedekahkan saja” kata kyai.
”Jangan, kita juga sedang membutuhkan”, jawab rabbi.
”Kita bikin sayembara saja, siapa di antara kita yang berhak atas roti dan air ini”, kata pendeta.
”Saya setuju”, kata rahib.
”Bagaimana caranya?”, tanya kyai.
“Siapa yang paling indah mimpinya malam nanti, dialah yang berhak atas roti dan air ini. Bagaimana,kalian setuju?”
Ketiganya setuju. Pendeta Nasrani cengar-cengir menyusun rekayasa mimpi yang akan diceritakannya esok hari. Begitu juga rabbi Yahudi. Sementara kyai tidak peduli mimpi apa yang akan diceritakan nanti. Menurutnya, pastilah mereka berdua berbohong dan merekayasa mimpi seenak perut mereka.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka bertiga sudah bangun.
”Kalian mau dengar mimpi apa aku semalam?”, pendeta membuka percakapan. Ia sudah tidak tahan ingin segera menikmati roti dan air untuk memuaskan rasa laparnya.
”Apa mimpimu?, tanya rabbi.
”Semalam, Nabi Isa menemuiku, mengajak aku terbang ke angkasa dan melihat pintu surga”
”Waaah, itu mimpi yang indah”, kyai bergumam.
”Terima kasih kyai”, pendeta kegirangan.
”Cuma diajak terbang dan melihat pintu surga?” rabbi menimpali.
“Benar, bukankah itu mimpi yang indah, seperti kata kyai?”, pendeta menjawab mantap.
“Bahkan aku diajak terbang oleh nabi Daud mengendarai Buraq dan aku diperkenankan membukakan pintu surga untuknya”.
“Wah, itu lebih indah”, kata kyai. Rabbi terlihat puas, pendeta kelihatan sinis pada kyai.
”Lalu apa mimpimu kyai?’, tanya pendeta penasaran.
”Jujur, mimpiku tidak seindah mimpi kalian”, kata kyai.
”Kalau begitu, kami berdua yang berhak atas roti itu”, kata rabbi.
”Sebentar, apakah kalian tidak mau mendengar mimpiku yang tidak seindah mimpi kalian?”, tanya kyai.
”Baiklah, biar bagaimanapun, mimpimu patut kami dengarkan”, kata pendeta.
”Satu hal pintaku, aku yakin benar akan kebenaran mimpi kalian. Tapi apakah kalian mempercayai mimpiku?”, tanya kyai.
”Kyai engkau sudah berkata jujur, bahwa mimpumu tidak seindah mimpi kami. Tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mempercayai mimpimu. Sekarang ceritakanlah”, jawab rabbi mantap.
”Terima kasih kalau begitu”,
”Cepatlah ceritakan perihal mimpimu? Mimpi tidak indah saja dijual mahal”, pendeta mulai naik pitam.
”Begini wahai pendeta, rabbi, tadi malam Nabi isa dan Nabi Daud bersama-sama menemuiku. Nabi Isa berkata, assalamu’alaikum kyai. Aku jawab wa’alaikumussalam. Begitu juga Nabi Daud mengucapkan salam padaku”.
”Dipersingkat saja, kyai. Jangan bertele-tele”, rabbi mulai juga tidak sabar.
”Baiklah. Lalu, seorang dari kedua Nabi mulia itu berkata, ”Kyai, bangunlah segera dan makanlah roti itu dan minumlah airnya”.
Lalu aku bangun dan menyantap roti dan air yang tersisa”, kyai menyudahi cerita mimpinya.
Pendeta kecele. Rabbi tersungut-sungut. Kyai cengar-cengir penuh kemenangan.
Pendeta berbisik pada rabbi, ”Dasar kancil!”.
"Kancil?",kata rabbi.
"Kancil yang suka nipu hewan lain", pendeta mempertegas.
"Apa rabbi belum pernah diceritakan tentang kisah kancil dan buaya?", pendeta berpanjang kalam.
"Berarti kita, buaya donkkkkkkkk".
"Ups", pendeta dan rabbi serentak menutup mulutnya.
0 komentar:
Posting Komentar