Sudah hampir dua dekade kita memasuki era yang, menurut pakar komunikasi/sosiolog Spanyol, Manuel Castells, disebut ”Galaksi Internet”. Wabah ”www” (world wide web) pada awal 1990-an mendongkrak popularitas dan komersialisasi internet secara luar biasa hingga memengaruhi semua aktivitas manusia.
World wide web tiba-tiba menjalin kesalingterhubungan (interconnectedness) dalam waktu kilat, tanpa batas ruang dan waktu, serta melibatkan siapa pun. Dalam istilah mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, inilah periode information superhighway.
Kesaling terhubungan itu awalnya dimaksudkan Pemerintah Amerika Serikat untuk tujuan keamanan nasional. Pada 1957, AS dipanikkan dengan ”Krisis Sputnik” setelah Uni Soviet meluncurkan satelit pertama yang mengorbit Bumi.
Presiden Dwight Eisenhower, yang menilai AS kalah superior dalam lomba teknologi ruang angkasa, memerintahkan riset kesalingterhubungan sistem komunikasi melalui komputer. Kalangan militer dan universitas, yang terlibat dalam pengembangan ”mahakarya” ini, awalnya tak serius.
”Main-main jadi bukan main”. Itu kiasan tepat untuk melukiskan perkembangan internet yang sempat mandek puluhan tahun sampai akhirnya paripurna ketika ditemukannya world wide web.
Berkat Galaksi Internet kita menikmati sistem komunikasi, bisnis, media dan sumber informasi, ekspresi politik dan kultural, proses belajar dan mengajar, serta komunitas yang serba baru. ”Kita memasuki Galaksi Internet dengan kecepatan penuh di tengah ketakjuban yang amat kita pahami,” kata Castells.
Internet lalu menjadi media komunikasi dan informasi yang esensial dalam kehidupan bernegara. Sebagai sebuah inovasi, fenomena internet bisa disamakan dengan penemuan listrik atau media cetak.
Sebuah konsekuensi negatif yang tak terduga, tetapi tak dapat dihindari, Galaksi Internet tak kenal rahasia. Semua aspek rahasia kehidupan individual dan masyarakat—persaingan bisnis, agenda politik, sampai kehidupan pribadi—pada prinsipnya bisa diintersepsi.
Maka, setiap jenis informasi paling sensitif pun yang dicemplungkan ke Galaksi Internet bisa diterobos siapa pun —mungkin kecuali bahasa sandi yang rumit. Oleh sebab itu, tak semua kalangan menyukai Galaksi Internet, misalnya Pemerintah China yang membungkam Google.
Lihat pula fakta sejarah ini. Letusan ”Revolusi Melati” di Tunisia dipicu protes penjaja buah/sayuran gerobak yang membakar diri karena dilarang berjualan di kaki lima.
World wide web tiba-tiba menjalin kesalingterhubungan (interconnectedness) dalam waktu kilat, tanpa batas ruang dan waktu, serta melibatkan siapa pun. Dalam istilah mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, inilah periode information superhighway.
Kesaling terhubungan itu awalnya dimaksudkan Pemerintah Amerika Serikat untuk tujuan keamanan nasional. Pada 1957, AS dipanikkan dengan ”Krisis Sputnik” setelah Uni Soviet meluncurkan satelit pertama yang mengorbit Bumi.
Presiden Dwight Eisenhower, yang menilai AS kalah superior dalam lomba teknologi ruang angkasa, memerintahkan riset kesalingterhubungan sistem komunikasi melalui komputer. Kalangan militer dan universitas, yang terlibat dalam pengembangan ”mahakarya” ini, awalnya tak serius.
”Main-main jadi bukan main”. Itu kiasan tepat untuk melukiskan perkembangan internet yang sempat mandek puluhan tahun sampai akhirnya paripurna ketika ditemukannya world wide web.
Berkat Galaksi Internet kita menikmati sistem komunikasi, bisnis, media dan sumber informasi, ekspresi politik dan kultural, proses belajar dan mengajar, serta komunitas yang serba baru. ”Kita memasuki Galaksi Internet dengan kecepatan penuh di tengah ketakjuban yang amat kita pahami,” kata Castells.
Internet lalu menjadi media komunikasi dan informasi yang esensial dalam kehidupan bernegara. Sebagai sebuah inovasi, fenomena internet bisa disamakan dengan penemuan listrik atau media cetak.
Sebuah konsekuensi negatif yang tak terduga, tetapi tak dapat dihindari, Galaksi Internet tak kenal rahasia. Semua aspek rahasia kehidupan individual dan masyarakat—persaingan bisnis, agenda politik, sampai kehidupan pribadi—pada prinsipnya bisa diintersepsi.
Maka, setiap jenis informasi paling sensitif pun yang dicemplungkan ke Galaksi Internet bisa diterobos siapa pun —mungkin kecuali bahasa sandi yang rumit. Oleh sebab itu, tak semua kalangan menyukai Galaksi Internet, misalnya Pemerintah China yang membungkam Google.
Lihat pula fakta sejarah ini. Letusan ”Revolusi Melati” di Tunisia dipicu protes penjaja buah/sayuran gerobak yang membakar diri karena dilarang berjualan di kaki lima.
![]() |
Julian assenge |
Masyarakat bersimpati kepada sang pedagang kaki lima, solider, dan menggalang kekuatan melalui jejaring sosial. Setelah itu, lahir people power yang melancarkan aksi massa yang memaksa Presiden Zine al-Abidine Ben Ali kabur ke luar negeri.
Cerita sukses di Tunisia ditiru Wael Ghonim, eksekutif Google di Mesir, yang menggalang people power untuk mendongkel Presiden Hosni Mubarak. Meski dielu-elukan sebagai tokoh ”Revolusi 25 Januari”, Ghonim menolak dinobatkan sebagai pahlawan.
Ia mengidolakan Julian Assange, sang penggagas WikiLeaks. Ini organisasi nonprofit yang bertujuan menyajikan informasi kepada publik melalui media massa ke seluruh dunia.
”WikiLeaks bisa jadi alat jurnalistik penting sesuai Undang-Undang Kemerdekaan Informasi,” tulis majalah Time. Tujuan WikiLeaks satu: memaksa setiap pemerintah terbuka kepada rakyat masing-masing.
Untuk itulah, WikiLeaks, lewat berbagai cara, mencuri seperempat juta kawat (diplomatic cables) kedutaan-kedutaan AS di seluruh dunia. Tentu AS geram dengan ulah Assange, tetapi tak bisa berbuat apa pun kecuali mempermalukannya dengan tuduhan pelecehan seksual di pengadilan.
Kawat diplomatik ditulis para diplomat berdasarkan konversasi ataupun pengamatan di negara penempatan. Sulit meragukan kredibilitas isi kawat karena —seperti berita yang ditulis wartawan atau hasil riset peneliti— dicek silang, dirapatkan, diperiksa atasan, dan diverifikasi sebagai dokumen negara.
Terlebih lagi AS sudah lebih dari seabad menjalankan sistem diplomasi modern ini. Waktu kawat mereka dibocorkan WikiLeaks, tak ada yang panik karena tak ada rahasia keamanan nasional AS yang terancam.
Beda dengan, misalnya, tatkala Daniel Ellsberg membocorkan pengeboman sadis AS di Indo-China lewat ”Pentagon Papers”. Betapapun, Washington terpukul karena WikiLeaks mengungkapkan bahasa diplomatik yang cenderung kasar menjuluki pemimpin seperti Moammar Khadafy atau Nicolas Sarkozy.
Pada akhirnya, semua kawat toh wajib diungkap kepada publik secara berkala dan bermanfaat untuk riset ilmiah atau jurnalisme investigatif. Tak sedikit ilmuwan kita dan Barat memanfaatkan kawat-kawat untuk riset tentang Indonesia saat pancaroba dari Orde Lama ke Orde Baru.
Tak ada yang bisa disalahkan dalam hiruk-pikuk WikiLeaks karena nasi sudah menjadi bubur. Terlebih lagi baru sekitar 1 persen kawat yang dipajang di etalase. Masih ada lebih dari 200.000 kawat.
Pemerintah AS tak terganggu karena substansi kawat diplomatik mereka justru memperlihatkan kinerja diplomasi yang profesional. Dan, sejauh ini tak satu pun negara sahabat AS yang merasa terusik.Kini di AS berlaku slogan baru, ”It’s the Internet Galaxy, stupid!”
Cerita sukses di Tunisia ditiru Wael Ghonim, eksekutif Google di Mesir, yang menggalang people power untuk mendongkel Presiden Hosni Mubarak. Meski dielu-elukan sebagai tokoh ”Revolusi 25 Januari”, Ghonim menolak dinobatkan sebagai pahlawan.
Ia mengidolakan Julian Assange, sang penggagas WikiLeaks. Ini organisasi nonprofit yang bertujuan menyajikan informasi kepada publik melalui media massa ke seluruh dunia.
”WikiLeaks bisa jadi alat jurnalistik penting sesuai Undang-Undang Kemerdekaan Informasi,” tulis majalah Time. Tujuan WikiLeaks satu: memaksa setiap pemerintah terbuka kepada rakyat masing-masing.
Untuk itulah, WikiLeaks, lewat berbagai cara, mencuri seperempat juta kawat (diplomatic cables) kedutaan-kedutaan AS di seluruh dunia. Tentu AS geram dengan ulah Assange, tetapi tak bisa berbuat apa pun kecuali mempermalukannya dengan tuduhan pelecehan seksual di pengadilan.
Kawat diplomatik ditulis para diplomat berdasarkan konversasi ataupun pengamatan di negara penempatan. Sulit meragukan kredibilitas isi kawat karena —seperti berita yang ditulis wartawan atau hasil riset peneliti— dicek silang, dirapatkan, diperiksa atasan, dan diverifikasi sebagai dokumen negara.
Terlebih lagi AS sudah lebih dari seabad menjalankan sistem diplomasi modern ini. Waktu kawat mereka dibocorkan WikiLeaks, tak ada yang panik karena tak ada rahasia keamanan nasional AS yang terancam.
Beda dengan, misalnya, tatkala Daniel Ellsberg membocorkan pengeboman sadis AS di Indo-China lewat ”Pentagon Papers”. Betapapun, Washington terpukul karena WikiLeaks mengungkapkan bahasa diplomatik yang cenderung kasar menjuluki pemimpin seperti Moammar Khadafy atau Nicolas Sarkozy.
Pada akhirnya, semua kawat toh wajib diungkap kepada publik secara berkala dan bermanfaat untuk riset ilmiah atau jurnalisme investigatif. Tak sedikit ilmuwan kita dan Barat memanfaatkan kawat-kawat untuk riset tentang Indonesia saat pancaroba dari Orde Lama ke Orde Baru.
Tak ada yang bisa disalahkan dalam hiruk-pikuk WikiLeaks karena nasi sudah menjadi bubur. Terlebih lagi baru sekitar 1 persen kawat yang dipajang di etalase. Masih ada lebih dari 200.000 kawat.
Pemerintah AS tak terganggu karena substansi kawat diplomatik mereka justru memperlihatkan kinerja diplomasi yang profesional. Dan, sejauh ini tak satu pun negara sahabat AS yang merasa terusik.Kini di AS berlaku slogan baru, ”It’s the Internet Galaxy, stupid!”
Keberadaan WIkileaks baru-baru ini juga merambah ke tanah air kita,seperti halnya di negara-negara lain,kawat-kawat berita rahasia membuka tabir dokumen dan info rahasia negara kita,terutama sorotan terhadap Presiden Kita,Susilo Bambang yudhoyono dan jajarannya.Pemerintah langsung bertindak dengan membantah seluruh tuduhan palsu atas pemberitaan dari Wikileaks dan situs pendukung lainnya.
Terlepas dari benar atau salahnya pemberitaan itu,seharusnya pemerintah harus bersikap realistis dan logis.Jika berita itu tidak benar,mengapa timbul kepanikan luar biasa di kalangan pemerintah,sembari membantah semua tuduhan itu,seolah-olah saling membantu,setiap menteri dan jajarannya membantah atas pemberitaan miring seputar pak presiden itu.Penulis Sebagai Mahasiswa,tentu itu dirasakan janggal,mengingat tidak ada bukti nyata ,lah kenapa mesti panik.Apalagi pandangan dari masyarakat.Justru dengan kepanikan seperti itulah,mengubah persepsi masyarakat atas apa yang terjadi dan berjalan di roda pemerintahan sekarang ini.
Ada Hikmah yang bisa di ambil dari situs pembuka rahasia negara ini.Terlepas dari sisi negatifnya,keberadaan Situs ini membuka mata publik akan skandal dan realita yang ada di tampuk pemerintahan tiap negara.Hal inmi membuat tiap pemimpin negara harus memutar otak menyembunyikan rahasia-rahasia negara yang penting dan tidak boleh di ketahui publik maupun dunia.Selain itu,situs ini mengajarkan tiap pemimpin dunia untuk bersikap jujur dan transparan kepada masyarakatnya atas apa yang terjadi dan berjalan di bawah kekuasaanya.
Wikileaks juga membuka mata para insan jurnalistik untuk bersikap jujur dan aktual dalam menyampaikan suatu berita.Jangan takut memberitakan suatu kebenaran,karena media massa kita selama ini di hantui oleh campur tangan /sabotase pemerintah dalam memberitakan suatu informasi guna meningkatkan image pemerintah di mata masyarakat.
Benar adanya,bahwa media massa adalah senjata pemusnah massal setelah nuklir tentunya,yang dapat mengubah pola pandang masyarakat,membutakan dengan segenap kebohongan publik karena sabotase bahkan menyebabkan perang.Akan tetapi media juga bisa menjadi pahlawan,menjadi alat pemersatu bangsa,menjadi sarana kejujuran dalam menyampaikan informasi,tanpa dibumbui oleh rasa takut di bawah kekuasaan suatu rezim,dan menjadi kunci kemajuan suatu negara.
Sekarang kembali kepada anda,apakah wikileaks itu harus ditutup,atau pemerintah yang mesti mengoreksi diri?(ran/Yps)
0 komentar:
Posting Komentar